Fenomenologi Edmund Husserl

Bab
7
Fenomenologi Edmund Husserl
Reza A.A Wattimena
Pada
bab sebelumnya kita sudah berdiskusi soal gaya aphorisme di dalam
filsafat Nietzsche. Ia mengajarkan kita untuk berani menembus
batas-batas rasionalitas itu sendiri, dan membuka tabir-tabir pemikiran
baru yang belum tersentuh sebelumnya. Pada bab ini saya ingin mengajak
anda berdiskusi mengenai metodologi berpikir di dalam filsafat Husserl,
yang banyak juga dikenal sebagai fenomenologi. Metode ini sangat penting
di dalam filsafat, dan juga di dalma penelitian ilmu-ilmu sosial. Di
dalam pemikiran Husserl, fenomenologi tidak hanya berhenti menjadi
metode, tetapi juga mulai menjadi ontologi. Muridnya yang bernama
Heideggerlah yang nantinya akan melanjutkan proyek itu. Pada bab ini
saya mengacu pada tulisan David W. Smith tentang Husserl di dalam
bukunya yang berjudul Husserl.[1]
Cita-cita Husserl adalah membuat fenomenologi menjadi bagian dari ilmu, yakni ilmu tentang kesadaran (science of consciousness).
Akan tetapi pendekatan fenomenologi berusaha dengan keras membedakan
diri dari epistemologi tradisional, psikologi, dan bahkan dari filsafat
itu sendiri. Namun sampai sekarang definisi jelas dan tepat dari
fenomenologi belum juga dapat dirumuskan dan dimengerti, bahkan oleh
orang yang mengklaim menggunakannya. Oleh karena itu dengan mengacu pada
tulisan Smith, saya akan coba memberikan definisi dasar tentang
fenomenologi, sekaligus mencoba memberi contoh penerapannya. Setelah itu
saya akan mengajak anda untuk memahami latar belakang teori
fenomenologi Husserl yang memang secara langsung diinspirasikan oleh
Frans Bretagno, terutama pemikirannya soal psikologi deskriptif. Lalu
masih mengacu pada tulisan Smith, saya akan mengajak anda memahami teori
tentang kesadaran, terutama konsep kuncinya yang disebut sebagai
intensionalitas. Intensionalitas sendiri berarti kesadaran yang selalu
mengarah pada sesuatu (consciousness on something),
seperti kesadaran akan waktu, kesadaran akan tempat, dan kesadaran akan
eksistensi diri sendiri. Selanjutnya kita akan berdiskusi tema-tema
yang lebih spesifik di dalam filsafat Husserl, seperti pemikirannya
tentang logika, ontologi, dan filsafat transendental.[2]
Arti Fenomenologi
Menurut Smith fenomenologi Husserl adalah sebuah upaya untuk memahami
kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama. Secara
literal fenomenologi adalah studi tentang fenomena, atau tentang segala
sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman subyektif, atau
tentang bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar kita. Setiap
orang pada dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi. Ketika anda
bertanya “Apakah yang aku rasakan sekarang?”, “Apa yang sedang
kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, maka sebenarnya anda melakukan
fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang anda rasakan, pikirkan,
dan apa yang akan anda lakukan dari sudut pandang orang pertama.
Dengan demikian fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari
sudut pandang subyektif orang terkait. Pendekatan ini tentu saja berbeda dengan pendekatan ilmu pengetahuan saraf (neuroscience),
yang berusaha memahami cara kerja kesadaran manusia di dalam otak dan
saraf, yakni dengan menggunakan sudut pandang pengamat. Neurosains lebih
melihat fenomena kesadaran sebagai fenomena biologis. Sementara
deskripsi fenomenologis lebih melihat pengalaman manusia sebagaimana ia
mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama.
Walaupun berfokus pada pengalaman subyektif orang pertama, fenomenologi
tidak berhenti hanya pada deskripsi perasaan-perasaan inderawi semata.
Pengalaman inderawi hanyalah titik tolak untuk sampai makna yang
bersifat konseptual (conceptual meaning),
yang lebih dalam dari pengalaman inderawi itu sendiri. Makna konseptual
itu bisa berupa imajinasi, pikiran, hasrat, ataupun perasaan-perasaan
spesifik, ketika orang mengalami dunianya secara personal.
Jika fenomenologi berfokus pada pengalaman manusia, lalu apa kaitan
fenomenologi dengan psikologi sebagai ilmu tentang perilaku manusia?
Husserl sendiri merumuskan fenomenologi sebagai tanggapan kritisnya
terhadap psikologi positivistik, yang menolak eksistensi kesadaran, dan
kemudian menyempitkannya semata hanya pada soal perilaku. Oleh sebab itu
menurut Smith, fenomenologi Husserl lebih tepat disebut sebagai
psikologi deskriptif, yang merupakan lawan dari psikologi positivistik.
Di dalam fenomenologi konsep makna (meaning)
adalah konsep yang sangat penting. “Makna”, demikian tulis Smith
tentang Husserl, “adalah isi penting dari pengalaman sadar manusia..”[3]
Pengalaman seseorang bisa sama, seperti ia bisa sama-sama mengendari
sepeda motor. Namun makna dari pengalaman itu berbeda-beda bagi setiap
orang. Maknalah yang membedakan pengalaman orang satu dengan pengalaman
orang lainnya. Makna juga yang membedakan pengalaman yang satu dan
pengalaman lainnya. Suatu pengalaman bisa menjadi bagian dari kesadaran,
juga karena orang memaknainya. Hanya melalui tindak memaknailah
kesadaran orang bisa menyentuh dunia sebagai suatu struktur teratur (organized structure)
dari segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Namun begitu menurut
Husserl, makna bukanlah obyek kajian ilmu-ilmu empiris. Makna adalah
obyek kajian logika murni (pure logic). Pada era sekarang logika murni ini dikenal juga sebagai semantik (semantics). Maka dalam arti ini, fenomenologi adalah suatu sintesis antara psikologi, filsafat, dan semantik (atau logika murni).
Bagi
Husserl fenomenologi adalah suatu bentuk ilmu mandiri yang berbeda dari
ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Dengan fenomenologi Husserl mau
menantang semua pendekatan yang bersifat biologis-mekanistik tentang
kesadaran manusia, seperti pada psikologi positivistik maupun pada
neurosains. Ia menyebut fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan
transendental (transcendental science), yang dibedakan dengan ilmu pengetahuan naturalistik (naturalistic science),
seperti pada fisika maupun biologi. Dan seperti sudah disinggung
sebelumnya, perbedaan utama fenomenologi dengan ilmu-ilmu alam, termasuk
psikologi positivistik, adalah peran sentral makna di dalam pengalaman
manusia (meaning in experience).
Fenomenologi tidak mengambil langkah observasi ataupun generalisasi di
dalam penelitian tentang manusia, seperti yang lazim ditemukan pada
psikologi positivistik.
Cita-cita
Husserl adalah mengembangkan fenomenologi sebagai suatu displin ilmiah
yang lengkap dengan metode yang jelas dan akurat. Di dalam ilmu-ilmu
alam, seperti kimia, fisika, dan biologi, kita mengenal adalah metode
penelitian ilmu-ilmu alam yang sifatnya empiris dan eksperimental. Inti
metode penelitian ilmu-ilmu alam adalah melakukan observasi yang
sifatnya sistematis, dan kemudian menganalisisnya dengan suatu kerangka
teori yang telah dikembangkan sebelumnya. Husserl ingin melepaskan diri
dari cara berpikir yang melandasi metode penelitian semacam itu. Baginya
untuk memahami manusia, fenomenologi hendak melihat apa yang dialami
oleh manusia dari sudut pandang orang pertama, yakni dari orang yang
mengalaminya.
Di
dalam kerangka berpikir ini, seorang ilmuwan sekaligus adalah sekaligus
peneliti dan yang diteliti. Ia adalah subyek sekaligus obyek dari
penelitian. Dan seperti sudah ditegaskan sebelumnya, fenomenologi adalah
cara untuk memahami kesadaran manusia dengan menggunakan sudut pandang
orang pertama. Namun menurut penelitian Smith, Husserl membedakan
tingkat-tingkat kesadaran (state of consciousness).
Yang menjadi fokus fenomenologi bukanlah pengalaman partikular,
melainkan struktur dari pengalaman kesadaran, yakni realitas obyektif
yang mewujud di dalam pengalaman subyektif orang per orang. Konkretnya
fenomenologi berfokus pada makna subyektif dari realitas obyektif di
dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari.
Dalam kosa kata Husserl, “obyek kesadaran sebagaimana dialami.”[4]
Fenomenologi
Husserlian adalah ilmu tentang esensi dari kesadaran. Namun apa
sebenarnya yang dimaksud dengan esensi dari kesadaran? Berdasarkan
penelitian Smith fenomenologi Husserl dibangun di atas setidaknya dua
asumsi. Yang pertama,
setiap pengalaman manusia sebenarnya adalah satu ekspresi dari
kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya
sendiri yang memang bersifat subyektif. Dan yang kedua,
setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ketika
berpikir tentang makanan, anda membentuk gambaran tentang makanan di
dalam pikiran anda. Ketika melihat sebuah mobil, anda membentuk gambaran
tentang mobil di dalam pikiran anda. Inilah yang disebut Husserl
sebagai intensionalitas (intentionality), yakni bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu.
Tindakan
seseorang dikatakan intensional, jika tindakan itu dilakukan dengan
tujuan yang jelas. Namun di dalam filsafat Husserl, konsep
intensionalitas memiliki makna yang lebih dalam. Intensionalitas tidak
hanya terkait dengan tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga merupakan
karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran tidak pernah pikiran
itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu. Pikiran
selalu memiliki obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran.
Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of consciousness). Dan intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada satu obyek.
Namun
Husserl juga melihat beberapa pengalaman konkret manusia yang tidak
mengandaikan intensionalitas, seperti ketika anda merasa mual ataupun
pusing. Kedua pengalaman itu bukanlah pengalaman tentang suatu obyek
yang konkret. Namun pengalaman itu sangatlah jarang, kecuali anda yang
menderita penyakit tertentu. Mayoritas pengalaman manusia memiliki
struktur. Mayoritas pengalaman manusia melibatkan kesadaran, dan
kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Husserl menyebut
setiap proses kesadaran yang terarah pada sesuatu ini sebagai tindakan (act). Dan setiap tindakan manusia selalu berada di dalam kerangka kebiasaan (habits), termasuk di dalamnya gerak tubuh dan cara berpikir.
Fenomenologi
adalah analisis atas esensi kesadaran sebagaimana dihayati dan dialami
oleh manusia, dan dilihat dengan menggunakan sudut pandang orang
pertama. Fenomenologi menganalisis struktur dari persepsi, imajinasi,
penilaian, emosi, evaluasi, dan pengalaman orang lain yang terarah pada
sesuatu obyek di luar. Dengan demikian menurut Smith, fenomenologi
Husserl adalah suatu penyelidikan terhadap relasi antara kesadaran
dengan obyek di dunia luar, serta apa makna dari relasi itu. Konsep
bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu merupakan konsep sentral di
dalam fenomenologi Husserl.[5]
Kesimpulan
Seperti sudah disinggung sebelumnya, fenomenologi adalah suatu refleksi
atas kesadaran dari sudut pandang orang pertama. Konkretnya
fenomenologi hendak menggambarkan pengalaman manusia sebagaimana ia
mengalaminya melalui pikiran, imajinasi, emosi, hasrat, dan sebagainya.
Dalam hal ini Husserl sangat berhutang pada Bretano. Bretano sendiri
membedakan dua jenis psikologi, yakni psikologi deskriptif yang dikenal
juga sebagai fenomenologi, dan psikologi genetis (genetic psychology).
Psikologi deskriptif hendak memahami dinamika kehidupan mental manusia.
Sementara psikologi genetis ingin memahami dinamika mental manusia
dengan kaca mata ilmu-ilmu genetika yang sifatnya biologistik. Di dalam
pemikiran Husserl, fenomenologi menjadi suatu displin yang memiliki
status otonom. Ia pun merumuskannya secara lugas, yakni sebagai ilmu
tentang esensi kesadaran. Dan berulang kali ia menegaskan, bahwa
kesadaran manusia tidak pernah berdiri sendiri. Kesadaran selalu
merupakan kesadaran atas sesuatu. Inilah yang disebut dengan
intensionalitas, suatu konsep yang sangat sentral di dalam fenomenologi
Husserl.
Husserl kemudian mencoba mengembangkan teori intensionalitas ini.
Setiap tindakan manusia selalu melibatkan kesadaran, dan kesadaran
selalu merupakan kesadaran atas suatu obyek yang nyata di dunia. Manusia
adalah subyek dan subyek selalu terarah pada suatu obyek yang nyata di
dunia. Obyek dari kesadaran dan tindakan manusia tidak pernah berada di
dalam ruang kosong, melainkan selalu berada di dalam horison makna
tertentu. Maka dari itu intensionalitas kesadaran selalu melibatkan
relasi rumit antara subyek (manusia) yang sadar, tindakan, obyek, dan
horison dari obyek tersebut. Relasi rumit di dalam intensionalitas
kesadaran itulah yang menjadi dasar dari fenomenologi.
Setelah menjadikan intensionalitas kesadaran sebagai dasar filsafatnya,
Husserl kemudia menganalisis struktur-struktur dasar kesadaran secara
detil, seperti persepsi, penilaian, tindakan, ruang, waktu, tubuh,
keberadaan orang lain, dan sebagainya. Subyek (manusia) dan obyek selalu
berada di dalam horison makna tertentu yang disebut Husserl sebagai
dunia kehidupan (life-world). Secara singkat dunia kehidupan adalah
dunia di sekeliling manusia yang dialaminya secara familiar di dalam
kehidupan sehari-hari. Di dalam dunia kehidupan, manusia memperoleh
makna dan identitasnya sebagai manusia. Dalam arti ini fenomenologi
adalah suatu upaya untuk memahami kesadaran manusia dalam konteks kaitan
dengan dunia kehidupannya.
Fenomenologi Husserl hendak menganalisis dunia kehidupan manusia
sebagaimana ia mengalaminya secara subyektif maupun intersubyektif
dengan manusia lainnya. Sebenarnya ia membedakan antara apa yang
subyektif, intersubyektif, dan yang obyektif. Yang subyektif adalah
pengalaman pribadi kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan.
Obyektif adalah dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen di dalam
ruang dan waktu. Dan intersubyektitas adalah pandangan dunia semua orang
yang terlibat di dalam aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan.[6]
Interaksi antara dunia subyektif, dunia obyektif, dan dunia
intersubyektif inilah yang menjadi kajian fenomenologi. Fenomenologi
membuka kesadaran baru di dalam metode penelitian filsafat dan ilmu-ilmu
sosial. Kesadaran bahwa manusia selalu terarah pada dunia, dan
keterarahan ini melibatkan suatu horison makna yang disebut sebagai
dunia kehidupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia dan
kesadaran bisa ditemukan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar