Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomai, yang berarti ‘menampak’ dan phainomenon merujuk
‘pada yang menampak’. Istilah feomenologi diperkenalkan oleh Johann
Heinrickh Lambert. Meskipun pelopor fenomenologi adalah Husserl, namun
dalam buku ini lebih banyak mengupas ide-ide Schutz (yang tetap berdasar
pada pemikiran sang pelopor, Husserl). Terdapat dua alasan utama
mengapa Schutz dijadikan centre dalam penerapan metodologi
penelitian kualitatif menggunakan studi fenomenologi ini. Pertama,
karena melalui Schutz-lah pemikiran dan ide Husserl yang dirasa abstrak
dapat dijelaskan dengan lebih gamblang dan mudah dipahami. Kedua,
Schutz merupakan orang pertama yang menerapkan fenomenologi dalam
penelitian ilmu sosial. Oleh karena itu, buku ini mengupas beberapa
pandangan Schutz dan penerapannya dalam sebuah penelitian sosial.
Schutz mengawali pemikirannya dengan mengatakan bahwa objek penelitian
ilmu sosial pada dasarnya berhubungan degan interpretasi terhadap
realitas. Jadi, sebagai peneliti ilmu sosial, kita pun harus membuat
interpretasi terhadap realitas yag diamati. Orang-orang saling terikat
satu sama lain ketika membuat interpretasi ini. Tugas peneliti
sosial-lah untuk menjelaskan secara ilmiah proses ini.
Dalam melakukan penelitian, peneliti harus menggunakan metode
interpretasi yang sama dengan orang yang diamati, sehingga peneliti bisa
masuk ke dalam dunia interpretasi orang yang dijadikan objek
penelitian. Pada praktiknya, peneliti mengasumsikan dirinya sebagai
orang yang tidak tertarik atau bukan bagian dari dunia orang yang
diamati. Peneliti hanya terlibat secara kogniti dengan orang yang
diamati. Peneliti dapat memilih satu ‘posisi’ yang dirasakan nyaman
oleh subyek penelitiannya, sehingga ketika subyek merasa nyaman maka
dirinya dapat menjadi diri sendiri. Ketika ia menjadi dirinya sendiri
inilah yang menjadi bahan kajian peneliti sosial.
Setelah Schutz berhasil mengintegrasikan fenomenologi dalam ilmu sosial,
para cendekiawan sosial mulai melirik pemikiran fenomenologi yang
paling awal, yakni fenomenologi transendental Husserl. Husserl sangat
tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia
berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam
fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real dan yang tidak.
Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transendental Husserl:
a. Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap
suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut
bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah kayu yang
dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek
yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan
konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa
kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang
dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor
kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek.
Misalnya minat terhadap bola akam menentukan kesengajaan untuk menonton
pertandingan sepak bola.
b. Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau
intentionality. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana
setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika
akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif
fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan,
dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide).
Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud
(intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
Terdapat kaitan yang erat antara noema dan noesis meskipun keduanya
sangat berbeda makna. Noema akan membawa pemikiran kita kepada noesis.
Tidak akan ada noesis jika kita tidak mengawalinya dengan noema. Begini
mudahnya. Kita tidak akan tau tentang bagaimana rasanya menikmati buah
durian (noesis karena ada aspek merasakan, sebagai sesuatu atau objek
yang abstrak) jika kita sendiri belum mengetahui seperti apa wujud
durian (noema karena berkaitan dengan wujud, sebagai sesuatu atau objek
yang nyata).
c. Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh
intuisi menurut Descrates yakni kemampuan membedaka “yang murni” dan
yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata
alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan.
Bagi Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah
sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental,
karena terjadi dalam diri individu secara mental (transenden).
d. Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna
intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’.
Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang
dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna
subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia
privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan
individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan
intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar